Jurnaljatengdiynews.com- Sabtu 26/04/25- Blora, Ada sebuah kisah sederhana namun membekas, tentang para mahasiswa angkatan 1993 di kampus legendaris, IAIN Walisongo, Jalan Tentara Pelajar Salatiga.
Mereka bukan hanya teman biasa, mereka adalah keluarga—sebuah paseduluran yang bahkan jarak dan zaman tak mampu renggangkan.
Sore itu, delapan orang pilihan, perwakilan ratusan sahabat lama, menaiki sebuah mobil Hiace putih—yang lebih mirip rombongan mantenan—berangkat menuju Blora.
Misi mereka satu, membawa pelukan, support, dan doa untuk Munatun, sang bunga kampus era 90-an, yang kini tengah berduka atas kepergian suaminya tercinta, Mas Zaini, senior karate legendaris di masa ospek dulu.
Sepanjang perjalanan, suasana mobil penuh dengan suara ketawa cekikikan yang hampir membuat sopirnya bingung ini mobil pelayat atau rombongan reunian.
“Eh, jangan lupa nanti pas nyampe, jangan ada yang manggil Munatun pakai nama jaman ospek ya… inget, sekarang udah emak-emak lima anak!” celetuk Gus Fuad , sang ketua abadi, sambil tertawa.
Sesampainya di Blora, begitu bertemu Munatun, suasana langsung pecah.
Munatun yang tetap ayu (dan katanya masih sering disangka kakak kelas anaknya), tak kuasa menahan air mata. Tapi anehnya, tangis haru itu malah bercampur dengan tawa-tawa kecil, karena kelakuan teman-temannya yang memang “nggak pernah tobat”.
“MasyaAllah… sampean kok yo masih awet muda, kayak nggak pernah ngerjain tugas statistik ya, Nduk,” goda Kang Aris, dosen muda, yang dulu terkenal karena nulis skripsi dua minggu langsung lulus.
Tak ketinggalan, Mas Nono—yang sekarang anggota dewan tapi tetap low profile—ikut nimbrung, membagikan cerita kocaknya.
“Saya tuh heran lho, jadi dewan itu katanya modal miliar-miliaran. Lha saya paling cuma modal sabar, do’a, sama traktiran es teh pas kampanye. Alhamdulillah, tetap jadi… mungkin karena waktu kuliah dulu rajin tirakat ya… dan sering ngutang di warung Mak legiman” katanya sambil tertawa lepas.
Obrolan makin seru. Kisah-kisah heroik zaman ospek, cerita-cerita perjuangan skripsi, sampai kisah cinta sepihak yang akhirnya terungkap 30 tahun kemudian—semua tumpah ruah.
Ternyata, rasa rindu itu memang nggak bisa dibendung, apalagi kalau sudah kumpul sama orang-orang yang ngerti betul jatuh bangunnya perjalanan hidup kita.
Acara pun ditutup dengan sambutan penuh kehangatan dari Kang Aris. Kata-katanya sederhana tapi dalam, mewakili ratusan sahabat:
“Kita semua datang bukan hanya untuk berbela sungkawa, tapi untuk menguatkan satu sama lain. Karena dalam paseduluran ini, tidak ada yang ditinggalkan sendirian.”
Doa pun dipimpin Kang Rochmad (pake D, jangan salah sebut nanti beliau protes), dengan khusyuk, penuh kekhidmatan, memanjatkan doa terbaik untuk almarhum Mas Zaini.
Sebelum pulang, sesi foto bersama tak lupa digelar.
Ada yang gaya cool, ada yang gaya ala ABG 90-an, bahkan ada yang dadakan pakai pose ala cover album dangdut.
“Eh, fotonya jangan di-zoom ya… takut ketahuan keriputnya,” canda Mbak Ika disambut gelak tawa semua.
Akhirnya, rombongan mobil hiace putih bertolak kembali ke Salatiga, sementara Kang Rochmad memilih jalur ‘pecahan hati’ menuju Rembang.
Dalam perjalanan pulang, satu hal yang terasa:
*Persahabatan itu seperti bintang—mungkin tidak selalu terlihat, tapi yakinlah, dia selalu ada.* (Rochmad )