Jurnaljatengdiynews.com- umat pagi, 18 Juli 2025, suasana cerah menyambut tim santri alumnus Bayu Sehat Mandiri (BSM) yang turun langsung ke lapangan dalam rangka Jumatan Berkah. Kali ini, mereka tidak hanya mengisi hari dengan ibadah, tapi juga dengan aksi nyata di persawahan dan perkebunan Kadipolo, Salam.
Langkah mereka ringan namun penuh semangat saat meninjau kebun budidaya pisang *kepok tanjung* seluas 2.200 meter persegi dan area *nabung talas*(tumpang sari) milik PCM Salam. Aktivitas ini merupakan bagian dari program tadabur alam, merenungi kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya, sekaligus monev lapangan untuk memastikan keberlanjutan gerakan pertanian organik yang sedang digaungkan.
Usai peninjauan, tim santri tak langsung pulang. Mereka lanjut sowan ke dusun Kadipolo guna melakukan Gong Jinagong (wawancara), menyapa para petani tulen yang sedang bergelut langsung dengan alam. Dialog hangat pun terjadi di tengah sawah, antara pemuda pegiat pertanian organik dan para petani senior non organik yang sudah puluhan tahun bersetia dengan tanahnya.
Salah satu momen yang mengesankan adalah perbincangan dengan Mbah Sartini seorang petani sepuh yang sedang “ngusir burung” dengan cara tradisional: tali plastik yang diikat dan digoyang untuk menghalau burung emprit dari padi mentik susu yang mulai menguning. Beliau tersenyum malu-malu saat ditanya kenapa tetap memilih cara lama. “Yo niki sing iso tak lakoni, Mas… ora ono mesin,” ujarnya sambil tertawa renyah.
Santri pun tak datang dengan misi menyalahkan, tapi membagikan wawasan. Bahwa Muharram, tahun baru hijrah, bisa menjadi titik balik bagi para petani untuk kembali ke fitrah pertanian: ramah lingkungan, mandiri benih, dan tidak bergantung pada pupuk kimia mahal.
Respon para petani warga Kadipolo cukup menggembirakan. Meski belum sepenuhnya yakin dengan pertanian organik, mereka menyambut gagasan itu dengan kepala terbuka dan hati lapang. Sikap ramah mereka adalah tanda harapan, bahwa perubahan tidak harus cepat, tapi harus terus berjalan.
Jumatan Berkah kali ini menjadi bukti bahwa dakwah tak selalu harus di mimbar. Ia bisa hidup di sawah, tumbuh di kebun, dan berakar dalam hati para petani yang mulai kembali menyatu dengan alam.(Rochmad Taufiq)