Jurnaljatengdiynews.com Magelang- Sampai saat ini saya terus terang masih belum dapat memahami jalan pikirannya Ketika salah seorang intelektual muda Islam melabeli Kawan-kawan yang menyuarakan darurat ekologi dengan istilah wahabi ekologi. Tentu saja dengan nada yang agak gimana gitu. Padahal secara objektif darurat ekologi itu hari demi hari telah nyata kita rasakan tekanannya. Masih menurut beliaujuga , secara sederhana wahabi ekologi adalah gerakan yang mensakralkan ekologi dengan sangat ekstrim. Karena disakralkan, ekologi tak sedikitpun boleh dijamah. Dan sebagai konsekuensinya, maka Ekologi harus diawetkan sebagaimana aslinya, ujar beliau lagi sembari tersenyum. Sebegitunyakah?
Jika kita ikuti jalan pikiran beliau, istilah Wahabi Ekologi sering pula disamaartikan dengan istilah “para penyembah pohon.” Untuk istilah yang terakhir ini saya anggap hanyalah sebuah candaan belaka atau sekedar sebagai olok-olok diantara para komunitas intelektual muda Islam yang tentu saja saya tidak perlu “baper” dalam menanggapinya. Istilah Wahabi ini sebenarnya sebuah pinjaman kata yang merujuk pada sebuah mazhab di dalam agama Islam, yaitu sebuah gerakan yang berusaha untuk memurnikan agama Islam dengan cara memahami ayat-ayat Al Quran dan hadist Nabi secara tekstual sebagaimana saat yang pertama kali ia diturunkan dan diucapkan. Pemahaman yang tekstualis ini dianggap yang paling selamat. Analog dengan pemahaman tersebut maka paham Wahabi Ekologiadalah sebuah gerakan yang berusaha untuk mengawetkan ekologi sebagaimana adanya adalah jalan menyelamatkan bumi. Itu artinya ekstraksi sumber daya alam termasuk pertambangan adalah tindakan yang tidak hanya haram tetapi juga aniaya terhadap lingkungan karena cenderung menuju pada kemusnahan bumi sebagai rumah bersama. Dalam terminologi agama tindakan aniaya terhadap ekologi dapat dikategorikan sebagai dzalimunlinnafsi. “Pertambangan itu niscaya. Konyol kalau kita tidak menambang kekayaan bumi kita. Pohon itu anugrah! Tambang juga anugrah dari Allah! Kita perlu untuk mengeksploitasi tambang guna memakmurkan rakyat!” Ucap beliau dengan senyumnya yang khas. Pensakralan ekologi menurut beliau bisa dikategorikan sebuah kesyirikan. Berbeda dengan beliau, jika disuruh memilih, saya tentu akan lebih memilih pohon ketimbang tambang. Alasannya karena manusia dapat hidup tanpa tambang dan manusia tidak dapat hidup tanpa pohon.
Tapi benarkah cara berpikir yang diusung oleh beliau tersebut? Jika yang dimaksud dengan Wahabi ekologi adalah mensakralkan ekologi maka Saya berarti sekeranjangdengan para penganut wahabi ekologi yang dimaksud oleh beliau. Alasan saya sederhana saja. Karena secara objektif krisis ekologi itu telah nyata mengancam keberlangsungan bumi sebagai rumah bersama semua makhluk. Rasakan saja betapa saat ini suhu lingkungan telah jauh menghangat jika dibandingkan dengan suhu lingkungan 20 tahun yang lalu? Dan itu semua terjadi karena manusia menganggap dan memperlakukan alam hanya sebagai objek belaka. Manusia hanya menganggap lingkungan hidup sebagai pemuas kepentingannya. Lingkungan hidup dianggap tak memiliki jiwa dan tujuan. Kedua, secara legal negara kita terikat oleh perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Yaitu berbagai perjanjian internasional yang mengarah pada penurunan emisi karbon, penghentian pembalakan hutan, dimulainya skema energi bersih, pembangunan yang bertumpu pada keberlanjutan ekologi dan lain sebagainya. Sebut saja perjanjian Paris atau protokol Kyoto yang terlebih dahulu lahir. Dan sebagai manusia yang beradab, wajib kiranya memegang janji yang sudah disepakati. Ketiga, secara objektif Indonesia adalah negara yang memiliki hutan tropis yang secara faktual menjadi paru-paru dunia. Jika laju pembalakan hutan itu tidak dikendalikan maka, fungsi kemanusiaan universal dari hutan Indonesia akan musnah. Itu berarti bencana bagi kehidupan seluruh makhluk di muka bumi. Secara faktual para ahli menyimpulkan bahwa jalan utama menyelamatkan bumi adalah memperluas daerah “tutupan hijau.” Itu artinya menambah jumlah pohon bukan justru menguranginya. Karena secara objektif pohonlah yang mampu mengikat karbon dan sekaligus memproduksi oksigen yang diperlukan oleh semua makhluk hidup. Itulah sebabnya mengapa saya sendiri menganggap penyelamatan ekologi terutama melalui kegiatan penanaman pohon adalah jalan spiritual atau biasa juga disebut sebagai tarekat. Mungkin karena itulah teman-teman menjuluki saya sebagai pencetus Tarekat Tanduriyah. Meski dengan nada candaan dan sedikit berolok-olok tetapi setelah saya renungkan, ternyata Tarekat Tanduriyah menurut saya memang sangat dibutuhkan oleh umat islam dan manusia pada umumnya.
Tarekat Tanduriyah : Jalan Lain Menuju Tuhan
1000 jalan menuju tuhan. Begitulah Ungkapan yang sering kita dengar dari mulut para pejalan spiritual. Di dalam Islam jalan menuju Tuhan itu biasa disebut dengan istilah tarekat. Tarekat biasanya didefinisikan sebagai jalan yang mengacu kepada laku dzikir maupun amalan khusus yang secara khusus pula diajarkan oleh seorang guru spiritual. Tentu saja laku dzikir dan amalan khusus itu diyakini akan mampu mengantarkan para pelakunya pada keridhaan Tuhan. Dzikir dan amalan yang diajarkan oleh seorang guru spiritual biasanya bersandar pada ayat-ayat al Quran atau hadist Nabi. Penyandaran pada ayat-ayat Al Quran serta hadist Nabi tentu saja agar tidak dikategorikan sebagai tarekat yang menyimpangKarena hal itu akan merugikan bagi gerak dan dakwah tarekat tersebut. Dan nama tarekat biasanya dinisbatkan pada nama guru spiritual. Misal Tarekat Qadiriyah dinisbatkan kepada Abdul Qadir Al Jilani. Akhiran yah pada kata Qadiriyah artinya pengikut. Sampai di sini mulai sedikit paham khan?
Lalu apa itu Tarekat Tanduriyah? Tarekat artinya laku menuju Tuhan Sedangkan Tanduriyah berasal dari kata Tandur dan akhiran Yah. Tandur dalam bahasa Indonesia artinya menanam dan akhiran yah artinya pengikut. Tandur sendiri berasal dari bahasa Jawa. Jadi Tarekat Tanduriyah artinya pengikut gerakan menanam pohon sebagai laku menuju Tuhan. Anehkah? Benarkah dengan menanam pohon dan tentu saja merawatnya dapat menjadi wasilah menuju Tuhan? Tidakkah hal itu berlebih-lebihan?
Lalu apa yang sesungguhnya dipegangi oleh para penganut Tarekat tanduriyah. Dan benarkah Rasulullah memberi contoh dan mengamalkannya? Dari anas bin Malik RA Rasulullahh bersabda : Tidaklah seorang muslim menanam pohon lalu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan lainnya kecuali tanaman itu menjadi sedekah baginya. Itu artinya bahwa menanam pepohonan selain bernilai ekonomis, ekologis ternyata sekaligus juga bernilai spiritual.
Pada hadist lain disebutkan bahwa : Siapa saja yang menanam pohon lalu tanaman itu tumbuh dan memberi hasil maka ia akan mendapatkan pahala setara dengan hasil yang diambil dari tanaman tersebut. Sementara itu manfaat dari pohon bukan hanya manfaat dari fisik pohon itu sendiri semisal daun, bunga, buah dan lain sebagainya. Secara objektif pohon memiliki manfaat mendaur ulang karbon, mennghasilkan oksigen serta membantu siklus hidrologis yang kesemuanya itu dibutuhkan oleh semua penghuni bumi. Andai saja pahala itu dikalkulasikan, betapa besarnya pahala para penanam pohon tersebut.
Hadist yang lain menyebutkan : Tidaklah seorang muslim menanam pohon, lalu dimakan manusia, burung dan hewan lainnya, kecuali akan menjadi sedekah baginya hingga hari kiamat kelak. Dan itu tentu saja tanpa mengurangi hak si penanam pohon tersebut untuk memetik hasil ekonominya. Sudah dapat cuan masih juga dapat ganjaran!
Di hadist yang lainnya lagi Rasulullah bersabda : Apabila kiamat tiba, dan pada salah seorang diantara kalian di tangannya terdapat bibit tanaman maka tanamlah! Hadist ini seolah-olah memberi tekanan betapa menanam pohon itu memiliki nilai yang sangat penting bagi si penanam pohon tersebut dan sekaligus tentu juga menjadi sesuatu yang berharga bagi kehidupan bbumi. Jika suda sedemikian jelas, masihkah kita tidak tertarik untuk menjadi pengikut Tarekat Tanduriyah?
Dari mana mulainya?
Sebagaimana para penganut tarekat, langkah besar menyelamatkan bumi sebagai rumah bersama itu adalah dengan mulai dari diri sendiri. Bahkan tidak perlu biaya sepeserpun. Hanya perlu mematri niat dalam hati yaitu meyakinni bahwa alam itu sakral dan menanam pohon adalah laku spiritual dalam meraih ridha allah SWT. Bagi masyarakat yang masih memiliki ruang kosong di sekitar rumahnya, mulailah menanam pohon. Bagi mereka yang memiliki lahan lebih, dapat mewakafkan tanahnya untuk disulap menjadi hutan komunitas. Bagi para pengelola rumah-rumah ibadah dapat mulai mengelola rumah ibadah dengan membuat ruang hijau. Bagi para nadhir tanah wakafpun demikian, jadikan tanah-tanah wakaf tersebut tidak hanya menjadi tempat untuk melayani kebutuhan umum dalam hal pendidikan, kesehatan atau sosial belaka, tetapi mulai juga dilakukan tata kelola baru, yaitu menjadikan tanah wakaf sebagai penyedia jasa lingkungan yang berupa penyedia oksigen, pendaur ulang karbon serta menjaga siklus hidrologis.
Bagi para hartawan, sisihkan saja uangnya untuk membiayai gerakan-gerakan menghijaukan tanah-tanah kosong yang memang secara legal dapat disepakati untuk menjadi lahan penyedia jasa lingkungan.
Seoptimis itukah Gerakan Tarekat Tanduriyah? Padahal Kerusakan lingkungan saat ini tidak lagi menjadi kerusakan yang bersifat lokalistik, aktor tunggal, dan temprer. Tetapi kerusakan ekologi saat ini telah bersifat global, sistemik, struktural, multi aktor, permanen dan melibatkan negara sebagai pengambil kebijjakan. Artinya tak lagi sebanding jika ditandingi dengan langkah-langkah yang bersifat individual, charity, sukarela dan tidak terorganisir.
Jika memang begitu, serelevan apakah gerakan tarekat tanduriyah dalam mengatasi bencana ekologi saat ini? Terus terang banyak orang pesimis ketika melihat peran agama dalam isu krisis lingkungan. Karena agama telah diringkus dan dipenjara di ruang pengap peribadatan semata. Teks-teks Al Quran terasa tak memiliki daya revolusioner jika digunakan untuk melihat realita. Padahal Al Quran telah mempolemikkan kerusakan bumi itu 15 abad yang lalu. Lihat saja Dalam surat Ar Rum 41 misalnya, Allah SWT telah berfirman : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” Pada surat Al A’Raf 56, Allah SWT berfirman :”Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah diciptakan dengan baik, berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah lebih dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
Sampai hari ini sebagian besar umat Islam meyakini bahwa makna dari kerusakan di darat dan di laut pada Surat Ar Rum 41, adalah kesyirikan atau perbuatan-perbuatan lain yang bersifat teologis semata. Dan pemahaman itu terus menerus direproduksi kepada umat Islam dari generasi ke generasi. Kalaupun ada pembaharuan, kerusakan yang dimaksud oleh surat Ar Rum 41 paling jauh akan dimaknai sepertikegagalan panen dan kematian binatang ternak dalam skala yang lebih luas. Terus terang pemahaman yang tidak kontekstual inilah yang membuat seolah-olah Al Quran menjadi tidak up to date. Barulah dalam kelompok postmodern pandangan tentang kerusakan di darat dan di laut pada surat Ar Rum 41 itu memperoleh tafsir kritisnya. Arti kata kerusakan itu didekati dengan cara yang lebih progresif dimana kerusakan di darat dan di laut dimaknai sebagai bencana ekologis, maka akan sebanding pula jika tangan-tangan manusia yang disebutkan dalam surat Ar Rum tersebut adalah sebagai kekuasaan politik dan finansial yang memang memiliki daya rusak yang sedemikian luas dan besar. Mengacu pada paragraf-paragraf di atas, yaitu bahwa manusia modern mtelah melakukan desakralisasi terhadap lingkungan, maka pandangan kaum Tarekat Tanduriyah yang ingin meletakkan kembali bahwa alam memiliki sifat sakral menjadi sangat relevan, karena alam dianggap memiliki jiwa dan memiliki tujuan. Itu artinya, berinteraksi dengan alam adalah laku spiritual sebagaimana potongan terakhir dari surat Al A’Raf di atas dimana Allah berfirman :”rahmat Allah lebih dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” Rochmad taufiq