Jurnaljatengdiynews.com.-Magelang, 9 Februari 2025 – Di pagi yang sejuk, Kang Hamim, seorang petani dari Dukuh Losari, Salam, Magelang, terlihat sibuk di sawahnya. Dengan penuh semangat, ia mengusir burung-burung emprit yang mencoba memakan padi ketan yang mulai menguning. Seperti biasa, setiap pagi ia menjaga sawahnya dengan penuh kesabaran, menanti panen yang tinggal 5-10 hari lagi.
Namun, bagi Kang Hamim, menanam padi ketan bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga misi pelestarian budaya leluhur. Di tengah semakin langkanya padi ketan di pasaran, ia tetap teguh menanam jenis ketan kotes, varietas khas yang dulu terkenal dan kini mulai langka di masyarakat.
“Kita harus terus menanam padi ketan agar tidak punah. Ini bagian dari warisan nenek moyang yang harus kita lestarikan,” ujar Kang Hamim dengan tekad.
Selain nilai budaya, padi ketan kotes juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga jualnya jauh lebih tinggi dibandingkan padi biasa, mencapai Rp27.000–Rp30.000 per kg. Bahkan sebelum panen, banyak orang sudah memesan hasil panennya.
Upaya Kang Hamim patut mendapat apresiasi, terutama dari pemerintah, karena turut menjaga keberagaman komoditas pertanian. Dengan semakin sedikitnya petani yang menanam padi ketan, langkah Kang Hamim menjadi contoh nyata bahwa pertanian tradisional tetap bisa berkembang di era modern.
Dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan agar lebih banyak petani mengikuti jejaknya. Dengan begitu, Indonesia bisa tetap memiliki aneka varietas padi unggulan, termasuk padi ketan kotes yang mulai langka.
“Jika bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” ujar Kang Hamim penuh harap.
(Roch.ad Taufik).