“Suk nek ono rejaning jaman wong Kaliputu uripe seko jenang”
(Suatu saat kelak sumber kehidupan warga Desa Kaliputu
berasal dari usaha pembuatan jenang)
— Sunan Kudus
Jurnaljatengdiynews.com, Kudus-Menginjakkan kaki pertama kali di parkiran Museum Gusjigang Mubarok Food saya cukup terkesima. Awalnya agak merasa aneh dengan nama yang dipilih: GUSJIGANG. Pikiran saya menerawang kemana-mana. Apakah ini berkaitan dengan panggilan ‘Gus’ yang biasa disematkan kepada putra-putra kiyai, seperti Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) atau Gus Mus (Mustofa Bisri)? Apakah juga karena pendiri museum, CEO Mubarok Fod saat ini, Muhammad Hilmy, digelari Gus?
Saya membiarkan berbagai pertanyaan itu mengendap di benak saya. Sambil mulai melangkah masuk ke dalam gedung, saya melihat berbagai etalase panganan jenang di lantai dasar, hasil produksi PT. Makanan Mubarok. Kuliner khas Kudus yang terbuat dari tepung, garam, santan kelapa, dan dipadukan dengan gula jawa itu, memang telah menjadi semacam oleh-oleh wajib jika berkunjung ke kota Kudus. Bahkan kini telah memperkaya citarasanya dengan berbagai rasa, mulai dari jenang cokelat, durian, hingga jenang bakpia.
Tak lama kemudian saya pun naik ke lantai dua, ke ruangan museum. Saya menjawab seribu bahasa. Miniatur Menara Kudus terpajang di sana, seolah-olah menyampaikan salam ‘selamat datang’, sambil menyiratkan sebuah obsesi: Inilah miniatur dari Kota Kudus. Jika Anda ingin tahu dan mengenal Kota Kudus, sejarahnya, pernak-perniknya, datanglah ke museum ini.
Maa sya’a Allah. Dahsyat. Saya hanya bisa berdecak kagum dengan kreatifitas penggagas dan sang pembangun museum ini.
Ruang demi ruang saya masuki, mulai dari ruang kaligrafi, puisi, dan biografi tokoh penyebar agama Islam di Kudus, seperti Sunan Kudus, Sunan Muria, juga foto tokoh-tokoh penggerak ekonomi Kudus, seperti bapak rokok kretek Kudus, Nitisemito atau Sosro Kartono.
Makin penasaran, saya masuki ruangan lain. Ada spot foto replika tentang usaha dan perdagangan, seperti membuat jenang, membuat rokok. Ada pula spot seni ukir. Ruangan berikutnya, Ruang Trilogi Ukhuwah yang menampilkan foto dan riwayat singkat tokoh pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, dan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Ada juga ruangan galeri Al-Qur’an dan Asmaul Husna, yang menampilkan sebuah Quran besar yang dikelilingi oleh tujuh Al-Qur’an kuno. Ketujuh Al-Qur’an tersebut adalah Al-Qur’an Tua daun lontar, Al-Qur’an kulit sapi, Al-Qur’an mini Istanbul Turki, Al-Qur’an sampul pintu Kakbah, Al-Qur’an kertas kuno , Al-Qur’an surau kuno dan Al-Qur’an pesantren kuno.
Di ruangan Replika Kudus Tempo Doeloe ditampilkan omah kapal, rumah kembar, stasiun kereta Kudus, dan patung tokoh Nitisemito pengusaha rokok asal Kudus.
Saya nafas menarik sejak dan memahami makna Gusjigang yang tanda tanyanya menari-nari sedari tadi di otak, dan mendapat jawaban yang menakjubkan. Bahwa Gusjigang itu ternyata adalah akronim dari baGUS akhlaknya (spiritual), pintar mengaJI (intelektual), dan pandai berdaGANG (enterpreneurship).
Membangun museum bagi sebuah perusahaan swasta, seperti Mubarok Food Citra Delicia, tentu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Berbeda dengan lembaga pemerintahan yang tinggal menanggok dananya dari APBN atau APBD. Ada upaya lebih yang harus disiapkan.
Saya membayangkan bagaimana kegelisahan kreatif seorang penerus gerasi ketiga Jenang Kudus Mubarok, M. Hilmy, dari proses awal mengonsep secara detail hingga museum itu benar-benar bisa direalisasikan dan berdiri anggun. Pastinya memusingkan!
Museum ini adalah simbol kegelisahan tersebut, bahwa ia merasa perlu membangun sebuah cermin sejarah bagi dirinya, keluarga, juga masyarakat Kudus. Tujuannya sederhana, bahwa sejarah bukanlah langkah untuk melangkah menuju masa depan.
Pengorbanan membangun Museum Gusjigang ini mungkin ibarat mengenang Sunan Kudus, Syaikh Ja’far Shodiq, saat awal-awal berdakwah di wilayah Kudus. Masyarakat Kudus yang kala itu mayoritas beragama Hindu sangat berpantangan menyembelih sapi. Sebab, bagi merekahewan adalah sesembahan mereka.
Sambil mengikuti keinginan mereka, yaitu tidak menyembelih sapi, Sunan Kudus pun berkorban, mengimpor alias mendatangkan seekor sapi dari India. Saat kapal pengangkut sapi itu tiba di pelabuhan, masyarakat Kudus penasaran dan berbondong-bondong mendatangi Sunan Kudus. Mereka mengira sapi itu akan disembelih di hadapan mereka.
Pengungkapannya hanya sekedar taktik dakwah. Saat masyarakat berkumpul, Sunan Kudus justru malah bercerita, bahwa dulu ia hampir mati kehausan. Tapi, tak lama kemudian, datanglah seekor sapi. Sunan Kudus pun lalu menyusu dari sapi tersebut, hingga kembali pulih dan segar seperti semula.
Apa makna dakwah ini? Betul bahwa Sunan Kudus saat itu ikut menyetujui larangan menyembelih sapi. Namun, bukan karena sapi merupakan hewan suci, tetapi lebih disebabkan karena sapi memiliki ‘jasa’ kepada beliau sebelumnya. Itulah cara Sunan Kudus mengikis keyakinan masyarakat tentang kesucian seekor sapi, dan mengembalikan cara pandang, bahwa masyarakat sapi tetaplah seekor hewan sebagaimana layaknya hewan lain.
Tak terasa, hari ini Museum Gusjigang genap berusia 7 (tujuh) tahun. Sebuah ‘angka keramat’ dalam dunia spiritual Islam. Sebab, angka 7 (tujuh) melambangkan sifat-sifat Allah yang ‘dititipkan’ kepada manusia, yakni (1) qudrah (kuasa), (2) irodah (kehendak), (3)_ ilmu,_ (4) hayat (hidup) , (5) sama’ (pendengaran), (6) bashar (penglihatan), (7) kalam (berbicara).
Sebuah perjuangan dan pengorbanan pastilah akan menuai hasil, baik jangka pendek, maupun jangka panjang. Museum Gusjigang kini telah menjadi destinasi wisata favorit di wilayah Kudus. Penjualan jenang kudus merek Mubarok, Sinar 33, dan lain-lain produksi PT. Pastilah Mubarok Food akan ikut meningkat, seiring dengan keingin-tahuan masyarakat terhadap sejarah Kota Kudus yang berbagai dioramanya ditampilkan dalam Museum Gusjigang.
Pejuang Tokoh Afrika Selatan, Nelson Mandela, pernah berkata “Selalu terlihat mustahil sampai hal itu selesai.” Ya, suatu hal memang akan terlihat tidak mungkin, sampai kita bisa melakukannya.
Selamat untuk Museum Gusjigang. Teruslah menjadi Pitutur, Pituduh dan Pituungan.
Dengan memberikan informasi yang menarik tentang Gusjigang di Kudus kepada masyarakat Indonesia dan dunia maka akan memberikan inspirasinya bagi generasi z dimanapun bahwa berwirausaha yang dibungkus dengan akhaq dari ajaran ilahi akan melahirkan para pedagang yg Sholeh.. (Taufiq, Untuk Kudus).