Jurnaljatengdiynews.com- Kudus. Sore itu tak ada janji, tak ada rencana Sabtu 18/05/25. Hanya langkah kaki yang diarahkan oleh Allah SWT menuju sebuah surau kecil di belakang kantor Yayasan YIMBP Kudus. Di sana, sebuah pertemuan tak terduga terjadi. Ustad Taufiq, yang tengah mampir setelah urusan di yayasan, bertemu dengan Ustadzah Zahroh—seorang guru sekaligus penulis novel inspiratif, dan seorang santri putri kelas 9 MTs bernama Nadia, santri binaan LKSA Bakti Pertiwi Krapyak Kudus.
Diskusi sederhana pun mengalir. Di tengah aroma kopi dan kehangatan suasana surau, percakapan kecil itu berubah menjadi forum besar bagi cita-cita dan visi masa depan. Nadia, santri yang bersahaja dan penuh harapan itu, menyampaikan impiannya: menjadi dokter. Tak ada bayangan tentang mahalnya biaya kuliah kedokteran. Yang ada hanya semangat dan tekad.
Ustadzah Zahroh menatap Nadia dengan bangga, lalu berkata, “Tak ada yang terlalu tinggi bagi doa yang disertai ikhtiar.”
Di situlah Ustad Taufiq memulai kisah tentang “Nabung Ayam Kampung”—sebuah program sederhana namun dahsyat. Dengan modal awal 400 ribu rupiah untuk membeli 4 ayam betina siap bertelur dan seekor pejantan, perjalanan ekonomi menuju biaya kuliah dimulai. Bukan dengan pinjaman atau beasiswa, tapi dengan kekuatan ketekunan, istiqamah, dan tawakal kepada Al-Ghani, Sang Maha Kaya.
Ayam kampung itu bukan sekadar ternak. Ia menjadi simbol harapan. Dengan ritme alami—bertelur, mengerami, dan menetaskan—potensi berkembang biak mencapai ribuan ekor dalam waktu tiga tahun. Dari 4 ekor menjadi 34, lalu 600, lalu lebih dari 8000 ekor. Bahkan, jika sebagian dijual seharga 50 ribu rupiah per ekor, hasilnya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
“Bukan soal ayamnya,” ujar Ustad Taufiq sambil tersenyum, “tapi soal istiqamahnya.”
Program ini bukan sekadar wacana. Ini adalah gerakan. Santri tidak hanya diajari menghafal dan memahami agama, tapi juga diberi alat untuk meraih cita-cita melalui kemandirian. Limbah dapur rumah, sisa warung makan, bahkan jagung dan waluh dari petani sekitar bisa menjadi pakan. Bukan hanya hemat, tapi ramah lingkungan dan membangun jejaring sosial.
Di akhir pertemuan, suasana berubah menjadi hening penuh haru. Nadia tersenyum—senyum seorang santri yang tidak lagi hanya bermimpi, tapi mulai melangkah dengan harapan nyata. Ustadzah Zahroh pun mengangguk, sudah mulai terbayang novel berikutnya: “Dokter dari Kandang Ayam”.
Tak ada rencana. Tak ada janjian. Tapi siapa sangka, sore di surau itu menjadi titik awal dari sebuah revolusi diam-diam—dari kandang ayam menuju kampus kedokteran, dari surau kecil menuju dunia yang besar.
Karena bagi yang yakin dan bersungguh-sungguh, Allah tak pernah diam. (Taufik)
👍🏻👍🏻